Puisi-puisi Yandigsa
HITAM
Hari kedua Januari dini hari,
ketika embun-embun berzdikir dengan meluncur luruh di tetumbuhan dan membasahi bumi
pesta kembang api pun belum sepenuhnya usai memecah langit malam
dan suara gaduh terompet serta dentuman musik dari kantung-kantung desa
di sudut sana masih menggoyang para pemabuk yang gila pada perempuan-perempuan maya
Lewat dunia maya ketika kau sapa diriku
cuma dua kata, aku bertemu
pas ketika kau duduk di depan beranda rumahku
di sudut desa yang dulu pernah kau tiduri
Lalu ada hal lain yang mengganggu pikiranku
tentang perasaan yang selama ini kau pendam
kau mau melakukan pembunuhan hati
dengan cara berbaring di atas ranjang malam yang kau siapkan
Ini apa Lambreta
Bukan ini Maya
Apa yang kau lakukan di malam kedua
bukanlah suatu pesta, melainkan membunuh kerinduanmu
tentang puisi-puisi yang pernah kita larungkan di kedalaman mata kita masing-masing
dan kau, aku, dia tertawa
Kembali kau semai senyum yang memang dulu menghias sebagian sajakmu
aku malu pada keinginan dan niatku menjauhi segala warna yang terlihat di mata para penyair
HITAM
tanpa titik dan koma
hanya sebayang yang terus bergoyang
menggoda keinginan
maya yang lambreta.
Kotabumi, 2111
SUBUH
Tak ada kata
Hanya dzikir-dzikir tertunda
dan harus kulanjutkan sebelum dhuha
Dingin mengajarkanku tentang gemeretak
dalam penghambaan yang taat
hindari gelap abadi
Karena kuyakin matahari pagi ini
akan bersahabat
jika kita terus berjabat
pada mutiara subuh
sebagai pintu pembuka hari
sampai senja memelukmu lagi
Menggala, 4111
DUA WAKTU
Ketika malam meluruhkan embun dan kabut tipis yang dingin
Tepat pertanyaan keseratus kau menjawab ya meyakinkan
Untuk kita melarungkan keinginan pada selat yang paling jauh
Dalam iringan jam dinding yang berbunyi tik-tok-tik-tok
Dua waktu kembali menjauh dari aturan yang telah ditetapkan
Dimana tubuh kita selalu gigil bila mengingat tentang gelap
Yang kerap kali mebutakan dan selalu tak sampai surat-surat yang pernah kita bacakan
Seperti kitab kadaluarsa yang hendak keluar dari matamu yang sayu
Tubuhnya bergetar pertanda sesuatu yang dipendam adalah gerak yang besar
Seumpama lahar yang hendak keluar dari perut bumi yang membatu
Adalah satu dari semua waktu yang terus saja mendesak
Adakah kau tahu bila rasa ini adalah rasa kau juga dalam nyanyian sunyi seorang sufi
Kembali kupertaruhkan dua waktu sebagai hal yang dilupakan
Padahal sungguh aku tahu dan kau pun tahu itu adalah undakan menuju kesempurnaan dalam aturan yang sama-sama kita ketahui, tetapi masih saja kita alpa
Dengan segala kesenangan akan dunia yang tiada habis, bukan.
Tiba-tiba rumput-rumput tumbuh dalam hati yang beku
Memagarinya dengan rimbun dan tertutup debu
Demi waktu yang kelu
Dan kubayar kau seratus ribu
Menggala, 9111
By : Yandigsa
BINTANG PERTAMA
Setelah setahun kau hias langit
Cahayamu semakin cemerlang
Ketika satu kata pertama meluncur dengan indah
Mamah ini anakmu, Bintang pertama di hatimu
“Aku tersenyum dan memelukmu Bintang”
Menggala, 100111
By : Yandigsa
UKIR HARIMU MENJADI SEJARAH
sebelum matahari tepat di atas kepala
sudahi semua mimpi
tentang keinginanmu memeluk rembulan di langit puisi paling kelam
ku yakin kau mampu bukan
maka semangatlah
rebutlah hari terbaikmu
dan catatlah
menjadi prasasti paling abadi
biar terkenang dunia
Menggala, 120111
By : Yandigsa
MERAH
Suatu tempat di hati yang dalam
ada ruang yang penuh segala rupa keinginan
ada cinta, benci dan sekotak harapan
serta ada cahaya sebatang lililn
Mungkin kalian semua tahu bila lilin
tak abadi memberikan cahaya
semakin hari, semakin redup mengecil
lalu mati dan gelap kembali menyapa
Hari ini benar hilang tak ada cahaya
meningggalkan merah yang luka
pada keinginan yang memotong hati
menjadi separuh dan berwarna merah
Satu kali puisi ingin membungkusnya
menjadi kenangan kelam pada lembar-lembar putih
dari serpihan hati dan segala isinya
hanya berharap cahaya lilin itu terjaga
dan tak redu lagi
Dia sadar kelakuannya pada saat senja merah saga itu
adalah membunuh harapan suci puisi sunyi
ketika suara-suara dari nyanyian membawa
keinginan luhur hingga mengalirkan keindahan
puisi hanya meninggalkan tangis
mungkin sesal atau sebal
Merah adalah noda kawan
tetapi bila diolah menjadi semangat
keinginan membara yang didapat
dan nyata kemenangan yang taat
Menggala, 120111
By : yandigsa
BIRU
Langit itu warnanya biru
lautan pun ada yang biru
lukaku membiru
perih membungkus rindu
adakah hatimu pun biru
sebiru langit dan lautan teduh
yang jelas aku selalu memburu
tersungkur di atas sajadah biru
pemberian ayah yang dulu
Memuji-Mu
Penguasaku
Menggala, 140111
Hari kedua Januari dini hari,
ketika embun-embun berzdikir dengan meluncur luruh di tetumbuhan dan membasahi bumi
pesta kembang api pun belum sepenuhnya usai memecah langit malam
dan suara gaduh terompet serta dentuman musik dari kantung-kantung desa
di sudut sana masih menggoyang para pemabuk yang gila pada perempuan-perempuan maya
Lewat dunia maya ketika kau sapa diriku
cuma dua kata, aku bertemu
pas ketika kau duduk di depan beranda rumahku
di sudut desa yang dulu pernah kau tiduri
Lalu ada hal lain yang mengganggu pikiranku
tentang perasaan yang selama ini kau pendam
kau mau melakukan pembunuhan hati
dengan cara berbaring di atas ranjang malam yang kau siapkan
Ini apa Lambreta
Bukan ini Maya
Apa yang kau lakukan di malam kedua
bukanlah suatu pesta, melainkan membunuh kerinduanmu
tentang puisi-puisi yang pernah kita larungkan di kedalaman mata kita masing-masing
dan kau, aku, dia tertawa
Kembali kau semai senyum yang memang dulu menghias sebagian sajakmu
aku malu pada keinginan dan niatku menjauhi segala warna yang terlihat di mata para penyair
HITAM
tanpa titik dan koma
hanya sebayang yang terus bergoyang
menggoda keinginan
maya yang lambreta.
Kotabumi, 2111
SUBUH
Tak ada kata
Hanya dzikir-dzikir tertunda
dan harus kulanjutkan sebelum dhuha
Dingin mengajarkanku tentang gemeretak
dalam penghambaan yang taat
hindari gelap abadi
Karena kuyakin matahari pagi ini
akan bersahabat
jika kita terus berjabat
pada mutiara subuh
sebagai pintu pembuka hari
sampai senja memelukmu lagi
Menggala, 4111
DUA WAKTU
Ketika malam meluruhkan embun dan kabut tipis yang dingin
Tepat pertanyaan keseratus kau menjawab ya meyakinkan
Untuk kita melarungkan keinginan pada selat yang paling jauh
Dalam iringan jam dinding yang berbunyi tik-tok-tik-tok
Dua waktu kembali menjauh dari aturan yang telah ditetapkan
Dimana tubuh kita selalu gigil bila mengingat tentang gelap
Yang kerap kali mebutakan dan selalu tak sampai surat-surat yang pernah kita bacakan
Seperti kitab kadaluarsa yang hendak keluar dari matamu yang sayu
Tubuhnya bergetar pertanda sesuatu yang dipendam adalah gerak yang besar
Seumpama lahar yang hendak keluar dari perut bumi yang membatu
Adalah satu dari semua waktu yang terus saja mendesak
Adakah kau tahu bila rasa ini adalah rasa kau juga dalam nyanyian sunyi seorang sufi
Kembali kupertaruhkan dua waktu sebagai hal yang dilupakan
Padahal sungguh aku tahu dan kau pun tahu itu adalah undakan menuju kesempurnaan dalam aturan yang sama-sama kita ketahui, tetapi masih saja kita alpa
Dengan segala kesenangan akan dunia yang tiada habis, bukan.
Tiba-tiba rumput-rumput tumbuh dalam hati yang beku
Memagarinya dengan rimbun dan tertutup debu
Demi waktu yang kelu
Dan kubayar kau seratus ribu
Menggala, 9111
By : Yandigsa
BINTANG PERTAMA
Setelah setahun kau hias langit
Cahayamu semakin cemerlang
Ketika satu kata pertama meluncur dengan indah
Mamah ini anakmu, Bintang pertama di hatimu
“Aku tersenyum dan memelukmu Bintang”
Menggala, 100111
By : Yandigsa
UKIR HARIMU MENJADI SEJARAH
sebelum matahari tepat di atas kepala
sudahi semua mimpi
tentang keinginanmu memeluk rembulan di langit puisi paling kelam
ku yakin kau mampu bukan
maka semangatlah
rebutlah hari terbaikmu
dan catatlah
menjadi prasasti paling abadi
biar terkenang dunia
Menggala, 120111
By : Yandigsa
MERAH
Suatu tempat di hati yang dalam
ada ruang yang penuh segala rupa keinginan
ada cinta, benci dan sekotak harapan
serta ada cahaya sebatang lililn
Mungkin kalian semua tahu bila lilin
tak abadi memberikan cahaya
semakin hari, semakin redup mengecil
lalu mati dan gelap kembali menyapa
Hari ini benar hilang tak ada cahaya
meningggalkan merah yang luka
pada keinginan yang memotong hati
menjadi separuh dan berwarna merah
Satu kali puisi ingin membungkusnya
menjadi kenangan kelam pada lembar-lembar putih
dari serpihan hati dan segala isinya
hanya berharap cahaya lilin itu terjaga
dan tak redu lagi
Dia sadar kelakuannya pada saat senja merah saga itu
adalah membunuh harapan suci puisi sunyi
ketika suara-suara dari nyanyian membawa
keinginan luhur hingga mengalirkan keindahan
puisi hanya meninggalkan tangis
mungkin sesal atau sebal
Merah adalah noda kawan
tetapi bila diolah menjadi semangat
keinginan membara yang didapat
dan nyata kemenangan yang taat
Menggala, 120111
By : yandigsa
BIRU
Langit itu warnanya biru
lautan pun ada yang biru
lukaku membiru
perih membungkus rindu
adakah hatimu pun biru
sebiru langit dan lautan teduh
yang jelas aku selalu memburu
tersungkur di atas sajadah biru
pemberian ayah yang dulu
Memuji-Mu
Penguasaku
Menggala, 140111
Comments
Post a Comment